MIMPI TIDAK AKAN PERNAH TUA
Kaki Mentari hampir menginjak tanah sebelah barat. Tangisan sikecil memecah nyanyian daun-daun mangga. Batuan yang terpijak tak bisa mengelak, diam menyaksikan suara parau yang bercerita.
Desa Siangan, Gianyar. Sebuah rumah bergaya bali, dengan
pohon mangga yang besar ditengah pekarangannya. Dahan anggrek yang mengitari
balai dauh saling bertatapan dengan batang mangga, terasa segar. Daun-daun tua
yang hampir gugur menyaksikan kesehariannya menerawang wajah-wajah muda yang kelak akan melanjutkan cita-cita juga
harapan bangsa. Bukan karena uang,
bukan pula karena materi,
semata-mata karena wajah-wajah muda nan riang yang nantinya akan melanjutkan cita-cita dan harapan bangsa ini.
Tiga puluh
delapan
tahun menikmati suasana kelas, merasakan aroma canda tawa dan
ringkikan anak-anak remaja. Keringat yang mengalir tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum di
bibirnya. Raut wajahnya lelah, namun ia toh tak menggubrisnya. Sikapnya penuh ekspresi, tutur katanya tak pernah
keras sekalipun suara gaduh
yang tercipta tak kunjung reda.
Semua ini hanya separuh dari perhatiannya, sepenuhnya ia masih ingat
bagaimana mata-mata indah menatapnya,
tatapan
remaja yang belum mengenal tujuan hidupnya.
Drs. Ida Bagus Sutha Tenaya, telah mengabdi di SMK
N 1 Gianyar hingga di usianya yang ke-61. Usia senja, namun harapannya masih
sama seperti saat pertama ia mengajar . Kini, ayah dari dua anak ini menikmati masa
tuanya bersama dua cucu dari anak pertamanya, atau sesekali ia menyuburkan
kebunnya. Kulitnya yang sawo matang semakin tua dan lemah. Penuh garis kerutan,
lusuh. Layaknya kertas yang tergumpal, ketika dikembangkan akan terlihat
rumitnya lipatan. Hatinya
semakin pilu tatkala menyadari bahwa bahasa yang digunakan anak-anak tak lagi seperti
yang ia ajarkan. Dia
yang telah jatuh cinta pada profesinya,
hingga setiap detik tak pernah merasa bosan memikirkan apa yang dapat
dipersembahkan kepada bangsa ini, beserta calon pemiliknya. Tetapi
yang disaksikannya, mata pelajaran
bahasa indonesia yang ia ajarkanpun seolah hanya sebagai formalitas untuk
mendapatkan standar kelulusan ataupun sekedar mencari nilai. Serasa sia-sia, tapi tak berdaya.
Lelaki
tua ini menyadari, manusia memang tiada yang sempurna seperti halnya dia.
Karena ketidaksempurnaan itu, dia tidak
punya daya untuk mengelak rasa. Jika kenyataan tentang harapannya hanya
berlatar kekecewaan. Dia tahu betul
bahwa tidak selamanya apa yang menjadi harapan akan terwujud. Namun hidup tidak
akan berhenti hanya karna ini semua. Semua akanlah terasa indah dan bermakna
jika kita mencoba untuk menikmatinya. Mimpi akan selalu ada, dan tidak
mengikutinya menjadi tua.
Wajahnya tenang,
badannya kini kurus dengan tenaga yang
lemah karena tersita usia. Namun semangat hidupnya amatlah luar biasa, ia tak
lebih dari seorang pensiunan yang khawatir akan generasi muda. Dia telah
memutuskan untuk menjadi seorang guru, melangkah pelan merangkul mereka dalam
dekapan. Meski tak lagi bisa mengajar, namun jiwa mendidik merupakan bagian
dari perjalanan hidupnya. Tak mudah untuk melepaskan tangan mereka, tak mudah
untuk melepaskah rasa cemas dari fikirannya.
(icha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar