Jumat, 04 Oktober 2013

Feature tim MAHAPATI - Lomba majalah kampus UNDIKSHA 2013



MIMPI TIDAK AKAN PERNAH TUA



Kaki Mentari hampir menginjak tanah sebelah barat. Tangisan sikecil memecah nyanyian daun-daun mangga. Batuan yang terpijak tak bisa  mengelak, diam menyaksikan suara parau yang bercerita.


            Desa Siangan, Gianyar. Sebuah rumah bergaya bali, dengan pohon mangga yang besar ditengah pekarangannya. Dahan anggrek yang mengitari balai dauh saling bertatapan dengan batang mangga, terasa segar. Daun-daun tua yang hampir gugur menyaksikan kesehariannya menerawang wajah-wajah muda  yang kelak akan melanjutkan cita-cita juga harapan bangsa.  Bukan karena uang, bukan pula karena materi, semata-mata karena wajah-wajah muda nan riang yang nantinya akan melanjutkan cita-cita dan harapan bangsa ini.

            Tiga puluh delapan tahun menikmati suasana kelas, merasakan aroma canda tawa dan ringkikan anak-anak remaja. Keringat yang mengalir tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum di bibirnya. Raut wajahnya lelah, namun ia toh tak menggubrisnya. Sikapnya penuh ekspresi, tutur katanya tak pernah keras sekalipun suara gaduh yang tercipta tak kunjung reda. Semua ini hanya separuh dari perhatiannya, sepenuhnya ia masih ingat bagaimana  mata-mata indah menatapnya,  tatapan remaja yang belum mengenal tujuan hidupnya.

            Drs. Ida Bagus Sutha Tenaya, telah mengabdi di SMK N 1 Gianyar hingga di usianya yang ke-61. Usia senja, namun harapannya masih sama seperti saat pertama ia mengajar . Kini, ayah dari dua anak ini menikmati masa tuanya bersama dua cucu dari anak pertamanya, atau sesekali ia menyuburkan kebunnya. Kulitnya yang sawo matang semakin tua dan lemah. Penuh garis kerutan, lusuh. Layaknya kertas yang tergumpal, ketika dikembangkan akan terlihat rumitnya lipatan. Hatinya semakin pilu tatkala menyadari bahwa bahasa yang digunakan anak-anak tak lagi seperti yang ia ajarkan. Dia yang telah jatuh cinta pada profesinya, hingga setiap detik tak pernah merasa bosan memikirkan apa yang dapat dipersembahkan kepada bangsa ini, beserta calon pemiliknya. Tetapi yang disaksikannya, mata pelajaran bahasa indonesia yang ia ajarkanpun seolah hanya sebagai formalitas untuk mendapatkan standar kelulusan ataupun sekedar mencari nilai. Serasa sia-sia, tapi tak berdaya.

            Lelaki tua ini menyadari, manusia memang tiada yang sempurna seperti halnya dia. Karena  ketidaksempurnaan itu, dia tidak punya daya untuk mengelak rasa. Jika kenyataan tentang harapannya hanya berlatar kekecewaan.  Dia tahu betul bahwa tidak selamanya apa yang menjadi harapan akan terwujud. Namun hidup tidak akan berhenti hanya karna ini semua. Semua akanlah terasa indah dan bermakna jika kita mencoba untuk menikmatinya. Mimpi akan selalu ada, dan tidak mengikutinya menjadi tua. 

Wajahnya tenang, badannya kini kurus dengan tenaga  yang lemah karena tersita usia. Namun semangat hidupnya amatlah luar biasa, ia tak lebih dari seorang pensiunan yang khawatir akan generasi muda. Dia telah memutuskan untuk menjadi seorang guru, melangkah pelan merangkul mereka dalam dekapan. Meski tak lagi bisa mengajar, namun jiwa mendidik merupakan bagian dari perjalanan hidupnya. Tak mudah untuk melepaskan tangan mereka, tak mudah untuk melepaskah rasa cemas dari fikirannya.

(icha)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar